Log in to access resources reserved for MDRT members.

Okt 26 2021

READ 00:05:28

Petikan pelajaran tentang branding di Facebook

Mencoba strategi baru di Facebook membuka pintu relasi baru dengan calon nasabah.

Mungkin postingan medsos Anda kurang ampuh memancing interaksi dari nasabah. Mungkin Anda kesulitan menjaga koneksi digital dengan calon nasabah baru. Dalam bincang-bincang Zoom pada Juni 2021, dua anggota MDRT berbagi cara mereka menyusun strategi untuk menghasilkan prospek lewat postingan media sosial.

Anggota yang ikut serta:

  • Carla Brown, FPFS, anggota 4 tahun MDRT dari Cuddington, Inggris, Britania Raya
  • Matthew Richard Duffy, FSS, LUTCF, anggota 7 tahun MDRT dari Murphysboro, Illinois, AS

Duffy: Saya warga pendatang. Sudah 14 tahun sejak pertama kali kami pindah ke sini. Dulu, saya tidak kenal siapa-siapa. Butuh waktu, tetapi begitu hubungan sudah terjalin, referensi pun datang mengalir. Karena tetap belum cukup, saya pun sangat aktif di media sosial, tapi untuk tujuan personal, bukan profesional. Sekitar empat tahun lalu, kami menerapkan ide ini. Saat ada nasabah baru, kami meminta izin mereka untuk memposting konten di FB sebagai bentuk sambutan. Mereka semua setuju. Cara ini berjalan selama sekitar setahun, tapi responsnya minim, jangkauannya sempit. Sungguh sia-sia. Tak ada yang berkomentar, me-like, men-share, atau me-mention. Nihil.

Kami rapat untuk mencari tahu akar masalahnya. Lalu kami sadar, unggahan itu hanya dilihat oleh nasabah dan teman-teman saya saat itu. Teman-teman dari nasabah baru tidak melihatnya karena diposting di laman saya. Setelah caranya kami ubah, dampaknya dramatis bagi aspek pemasaran bisnis kami. Kami meminta nasabah memposting pengalaman mereka datang ke kantor kami di media sosial mereka, dan sebagai wujud apresiasi — karena kami anggap itu sama dengan referensi — kami mengirimi mereka voucer Visa.

Dari dulu sampai sekarang, efeknya tetap ajaib. Sekarang semua teman dan juga koneksi dari teman mereka melihatnya. Yakinlah saat mereka melihatnya, mereka akan berpikir, Wah, kok pertemuan asuransi dan perencanaan keuanganku tidak begini, ya? Biasanya pengalaman mereka menyebalkan. Pertemuan asuransi mereka pasti tidak membuat mereka merasa, Aku harus posting ini di FB, biar semua tahu penasihat ini keren sekali.

Responsnya luar biasa. Ada yang bilang di telepon, “Halo, menurut teman saya Joe, layanan Anda bagus, dan saya perlu asuransi jiwa. Bisa bantu?” Ini faktor pendukung penting bagi kami. Saya tidak perlu berkata di hadapan nasabah, “Boleh minta nama tiga teman dan keluarga Anda serta nomor ponsel mereka untuk saya hubungi?” Saya tidak bisa begitu. Beberapa orang warga datang pada saya menanyakan asuransi, meski saya tidak kenal mereka. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya dan saya tahu sebabnya karena satu-satunya hal yang kamu ubah cuma itu.

Format yang kami pakai sesuai prosedur perusahaan dan voucer Visa senilai $25 itu berizin di negara bagian Illinois. Semua syarat kepatuhan terpenuhi. Yang kami beri kepada nasabah bersifat profesional, dan efektif membuahkan hasil.

Brown: Hebat, Matt. Idenya luar biasa cerdas. Saat ini kami pun makin sering berinteraksi di media sosial. Produksi konten medsos kami alih dayakan ke agensi. Terhadap semua konten yang diunggah rutin itu, kami sengaja memilih tujuan branding, bukan pemasaran langsung. Dari pengalaman, kami sadar, ternyata postingan yang menonjolkan sisi tim, dan orang-orang di dalamnya, lebih banyak menuai interaksi ketimbang postingan tentang produk, investasi, atau semacamnya. Orang suka postingan yang ‘manusiawi’, jadi kami semua berfoto mengenalkan baju yang ada kaitannya dengan hobi kami. Kami coba menampilkan diri tidak dengan citra korporat, tetapi lebih ke orang-orang di dalamnya. Sejauh ini interaksi yang dihasilkan luar biasa.

Duffy: Saya sambung sedikit perkataan Anda mengenai fokus pada manusia tadi. Sedikit sekali dari interaksi media sosial saya terjadi di laman bisnis saya. Pada laman pribadi, hampir semua postingan saya postingan tentang keluarga, hobi, dan hewan peliharaan. Agaknya saya memang overaktif di media sosial. Saya ingin kenal lebih banyak orang lewat berbagi cerita soal hobi dengan mereka. Saya ingin mereka bisa ikut merasakannya. Kalau saya bermain golf, saya bikin postingan tentang golf karena saya tahu ada penggemar golf di luar sana yang ingin saya ajak berbisnis. Saya gemar berburu, jadi saya posting cerita tentang berburu, tetapi yang positif. Kalau ingin punya nasabah pemburu, saya ingin mereka tahu bahwa kami sama. Begitu juga dengan keluarga dan anak-anak saya. Anjing saya punya laman Facebook sendiri. Pengikutnya 1.000 orang karena saya tahu banyak orang punya hewan peliharaan. Di tempat umum kadang orang bertanya, “Si Boots apa kabar?” Saya bahkan kenal mereka, tetapi ada ikatan di antara kami dan, semoga, bila nanti mereka butuh produk atau layanan kami, mereka tak enggan untuk bertemu.

Brown: Poin yang bagus sekali. Tahun lalu, saya berhasil mengubah hal negatif menjadi positif. Saya memposting tentang nasabah yang tak jadi ikut rapat Zoom. Waktu itu cuaca sedang cerah. Benar, di Inggris cuaca kadang bisa cerah, lo. Jadi, daripada muram karena nasabah batal rapat Zoom, saya pakai celana training, saya ajak anjing saya, lalu kami jogging. Saya mengabadikan momen lari bersama anjing saya dan mempostingnya di LinkedIn. Konten yang menonjolkan sisi manusiawi kita ini sangat ampuh menghasilkan interaksi.

Bagaimana cara Anda mengevaluasi cara yang efektif dan tidak efektif di ranah ini?

Duffy: Pendekatan saya tidak ilmiah, tapi ampuh. Saya lihat kembali postingan-postingan lama di media sosial saya. Kalau ada postingan lama yang pernah ‘viral’, saya posting lagi. Soalnya, konten itu saya posting lima tahun lalu dan sekarang saya punya 500 teman atau pengikut baru yang tidak melihatnya. Atau, karena algoritmenya, mungkin tak ada yang melihatnya. Begitu cara saya. Dan konten itu tidak saya share ulang; saya buat seperti postingan baru karena itu yang dulu berhasil menuai banyak interaksi. Media sosial punya peran besar dalam bisnis kami.

Brown: Ide yang bagus sekali. Buat apa bikin yang baru kalau yang lama ampuh? Saya suka. Kami tidak seaktif atau selama Matt di media sosial. Kami mengadakan rapat per kuartal dengan agensi yang kami gunakan jasanya. Kami mengkaji jangkauan, interaksi, jumlah click-through ke situs web, dan metrik-metrik lainnya, untuk mencari tahu apa yang efektif, apa yang tidak. Kami juga telah mengubah strateginya. Mereka menyusun rencana medsos tiga bulanan, dan pada hari-hari tertentu kami ikut nimbrung. Baru-baru ini ada Hari Demensia – kain Denim untuk Demensia. Kami semua mengenakan busana berbahan denim di kantor, dan kami pasang foto-fotonya di medsos. Intinya kami meninjau kuartal sebelumnya dan mencari tahu, “Apa yang efektif? Apa yang tidak? Apa yang perlu diperbanyak? Apa yang perlu dikurangi? Dan apa yang baiknya tak dilakukan lagi?” Saya suka ide Matt tadi: meninjau dan menggunakan lagi postingan lama. Kalau portofolio konten kami sudah cukup nanti, ide itu bisa kami terapkan.

Duffy: Ya, portofolio postingan saya lumayan besar. Sembilan puluh persen postingan saya bersifat pribadi, tapi saya tetap menaikkan satu postingan terkait bisnis per minggu di laman pribadi karena saya ingin orang tahu saya menyeriusi profesi ini. Dan saya ingin mereka tahu bisnis kami dan bahwa saya ingin berbisnis dengan mereka. Jumlah postingannya wajar, orang tak sampai memblokir saya gara-gara bosan melihat postingan asuransi.

Kontak

Carla Brown carla.brown@sjpp.co.uk

Matthew Duffy matt.duffy@countryfinancial.com

Dengarkan episode ini di mdrt.org/podcast.